thumb

Pemerintah Kota Pontianak mencanangkan target ambisius menurunkan angka stunting hingga di bawah 10 persen pada 2026.

DP2KBP3A- Kota Pontianak, Rapat Koordinasi Pencegahan dan Percepatan Penurunan Stunting Kota Pontianak Tahun 2025 yang diadakan di Htl harris jalan Gajahmada Lt 3 yang dilaksanakan oleh DP2KBP3A Kota Pontianak adalah upaya memberikan pemahaman menambah wawasan serta target yang dicapai mengenai masalah stunting, penyebabnya, dampaknya, serta cara pencegahan dan penanganannya. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran dan mengubah perilaku masyarakat agar lebih peduli terhadap tumbuh kembang anak dan gizi seimbang. juga dihadiri para Nara Sumbe dan tamu undangan.

Tujuan:

Meningkatkan kesadaran:

Memberikan informasi yang jelas dan akurat tentang stunting, termasuk pengertian, penyebab, dan dampaknya pada tumbuh kembang anak.

 

Mengubah perilaku: Mendorong masyarakat untuk menerapkan pola makan sehat dan bergizi seimbang, serta menjaga kebersihan lingkungan.

 

Meningkatkan peran serta: Melibatkan berbagai pihak, seperti ibu hamil, ibu menyusui, kader posyandu, dan tenaga kesehatan, dalam upaya pencegahan stunting.

Mempercepat penurunan stunting:Melalui kegiatan Rapat Koordinasi Pencegahan dan Percepatan Penurunan Stunting Kota Pontianak Tahun 2025, diharapkan angka stunting di masyarakat dapat menurun secara signifikan Pemerintah Kota Pontianak mencanangkan target ambisius: menurunkan angka stunting hingga di bawah 10 persen pada 2026. Namun, lonjakan data terbaru berdasarkan indikator nasional justru menunjukkan angka 22,3 persen, memunculkan pertanyaan seberapa realistis target tersebut dapat tercapai.

Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono mengklaim bahwa pihaknya telah melakukan berbagai langkah intervensi dan pendataan lapangan melalui Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP3S).

“Kita sudah turun di angka 16,4 persen pada tahun 2023. Namun secara nasional, dengan indikator baru, angkanya kembali naik menjadi 22,3 persen. Maka dari itu, kita ingin tekan lagi hingga di bawah 10 persen pada 2026,” katanya usai Rakor TP3S di Hotel Harris, Kamis (26/6/2025).

Pernyataan ini menyoroti betapa rentannya akurasi data dan indikator pengukuran dalam memetakan situasi nyata di lapangan. Jika data bersifat fluktuatif, maka kebijakan berbasis angka semata bisa menjadi tidak relevan.

Lebih jauh, Edi menyoroti tantangan sosial mendasar: kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak diinginkan masih kerap terjadi, terutama pada keluarga miskin. Akibatnya, banyak ibu hamil yang tidak menjalani masa kehamilan dengan optimal, bahkan mengabaikan asupan gizi dasar.

“Kalau kehamilan memang diharapkan, biasanya orang tua sangat menjaga. Tapi ada juga yang hamil tidak direncanakan atau tidak diinginkan, bahkan karena faktor kemiskinan. Ini seringkali membuat kehamilan tidak dijaga dengan baik, bahkan ada yang coba digugurkan. Ini yang berisiko tinggi dan harus kita intervensi,” ujar Edi.

Fenomena ini menunjukkan bahwa problem stunting tak cukup ditangani dari sisi medis atau logistik bantuan saja, tetapi juga memerlukan pendekatan sosial dan kultural yang lebih menyeluruh.

Edi juga mengakui bahwa pola makan ibu hamil yang terganggu—akibat mual atau ngidam berlebihan—berdampak langsung pada gizi janin.

“Bantuan makanan bergizi sudah berjalan, tinggal kita lihat datanya. Saya akan minta data berapa jumlah ibu hamil yang sudah mendapatkan bantuan,” ucapnya, sambil menyinggung pentingnya keakuratan distribusi bantuan.

Persoalan lainnya adalah pemahaman publik yang masih dangkal soal definisi stunting. Banyak masyarakat, bahkan kader kesehatan, masih melihat stunting sekadar sebagai postur tubuh pendek, bukan kondisi gagal tumbuh yang kompleks.

“Stunting ini tidak sekadar soal tinggi badan. Ada juga yang disebabkan oleh faktor psikologis dan bawaan sejak lahir. Kita perlu data yang benar-benar valid untuk memetakan kondisi sesungguhnya,” ungkapnya.

Wali Kota kembali menegaskan bahwa masa krusial adalah 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), rentang waktu yang kerap luput dari perhatian banyak keluarga.

“Masa paling rawan terjadi stunting adalah selama seribu hari pertama kehidupan anak, dimulai sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun,” kata Edi.

Edi juga menyoroti pentingnya peran masyarakat. Menurutnya, banyak kasus stunting yang tidak terdeteksi karena minimnya kepedulian lingkungan sekitar.

“Bisa saja tetangga kita, bahkan cucu kita sendiri, mengalami stunting tapi kita tidak sadar. Ini yang harus jadi perhatian bersama,” tambahnya.

Kepala Bidang Pengendalian Penduduk DP2KBP3A Kota Pontianak, Ismail, menambahkan bahwa rakor kali ini menjadi momen untuk mengonsolidasikan strategi lintas sektor agar tidak terjebak pada kerja simbolik.

“Melalui rapat koordinasi ini diharapkan terjadi sinergi antar sektor, mulai dari analisis situasi, penguatan perencanaan, hingga evaluasi pelaksanaan untuk mendukung upaya percepatan penurunan stunting secara komprehensif,” jelasnya.

Sumber dan referensi sitepontianak

Post by Jmk