Anak rentan menjadi sasaran tindak kekerasan dan perdagangan manusia
Anak memang rentan menjadi sasaran tindak kekerasan dan perdagangan manusia. Beberapa hal yang menjadi faktor pendorong terjadinya perdagangan anak diantaranya; faktor ekonomi keluarga, rendahnya tingkat pendidikan anak dan keluarga, serta kurangnya kepedulian orangtua terhadap pengurusan administrasi anak seperti pembuatan akta kelahiran sehingga menyebabkan mudahnya terjadi perdagangan manusia karena korban tidak memiliki identitas. Perdagangan orang (Trafficking) adalah tindakan merekrut, mengirim, memindahkan, menampung atau menerima orang untuk tujuan eksploitasi baik di dalam maupun di luar negeri dengan cara kekerasan ataupun tidak. Anak memiliki hak khusus menurut hukum internasional dan hukum Indonesia dan Pemerintah dalam hal ini memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak dari kejahatan perdagangan manusia. Di dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA), ditegaskan bahwa anak berhak mendapatkan perlindungan dari penculikan, perdagangan dan penjualan anak untuk tujuan atau dalam bentuk apapun (pasal 35). Pemerintah Indonesia telah melakukan usaha-usaha untuk mencegah dan menanggulangi masalah perdagangan manusia dengan beberapa cara seperti dibentuknya undang- undang no 21. Tahun 2007, Tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan pengadaan RPSA atau Rumah Perlindungan Sementara Anak. Ditingkat masyarakat, hendaknya ada kampanye dan pendidikan tentang perdagangan anak serta usaha-usaha untuk melawannya.
Perdagangan anak adalah permasalahan yang harus segera ditangani bukan hanya pada permukaannya saja, tetapi penanganannya harus tuntas sampai kepada akarnya. Pengetahuan masyarakat tentang perdagangan anak di Indonesia masih terbatas pada kalangan tertentu.Namun demikian adanya indikasi kuat bahwa hal tersebut semakin meluas dan tidak hanya menyangkut perdagangan didalam batas negara saja tetapi juga ada yang diperdagangkan antar Negara membuat fenomena ini mendapat perhatian dari khalayak ramai. Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak anak sesuai kewajiban yang telah diatur di dalam hukum. Demikian juga dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesbilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah baik fisik, mental, spiritual maupun sosial yang dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa. Indonesia telah mengambil kebijakan untuk meniadakan perdagangan anak, namun implementasi kebijakan tersebut masih dirasa kurang dan memang belum secara maksimal dalam mencegah masalah perdagangan anak ini.Perdagangan anak, (Child Trafficking) di Indonesia telah mendapat perhatian dari berbagai kalangan.
Perdagangan Anak merupakan salah satu bentuk tindakan kejahatan yang dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau sebuah lembaga terhadap orang yang usianya belum mencapai 18 tahun, termasuk janin yang masih berada dalam kandungan. Perdagangan anak didefinisikan oleh ODCCP (Office for Drug Control and Crime Prevention) sebagai perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak di bawah umur untuk tujuan eksploitasi dan itu menggunakan ancaman, kekerasan, ataupun pemaksaan lainnya seperti penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan wewenang maupun posisi penting. Perdagangan anak biasanya bertujuan:
· eksploitasi untuk pekerjaan (termasuk perbudakan dan tebusan),
· eksploitasi seksual (termasuk prostitusi dan pornografi anak),
· eksploitasi untuk pekerjaan ilegal (seperti mengemis dan perdagangan obatterlarang),
· perdagangan adopsi,
· perjodohan dengan pemaksaan.
Pelaku dalam perdagangan (trafficking) anak dan perempuan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) unsure. Pembedaan dilakukan berdasarkan peranannya masing-masing dalam tindakan perdagangan (trafficking): Pihak yang berperan pada awal perdagangan;
1. Pihak yang menyediakan atau menjual orang yang diperdagangkan;
2. Pihak yang berperan pada akhir rantai perdagangan sebagai penerima/pembeli orang yang diperdagangkan atau sebagai pihak yang menahan korban untuk dipekerjakan secara paksa dan yang mendapatkan keuntungan dari kerja itu.
Perdagangan anak yang dipahami dalam artikel ini perdagangan manusia: Perdagangan manusia berarti pengerahan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang dengan menggunakan berbagai ancaman atau paksaan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, muslihat, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan berupa pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari orang yang memiliki kendali atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. Trafiking, menurut ICMC/ACIL tidak hanya merampas hak asasi tapi juga membuat mereka rentan terhadap pemukulan, penyakit, trauma dan bahkan kematian. Pelaku trafiking menipu, mengancam, mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan untuk menjerumuskan korban ke dalam prostitusi.
Beberapa cara yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban antaralain
1. Menahan gaji agar korban tidak memiliki uang untuk melarikan diri
2. Menahan paspor, visa dan dokumen penting lainnya agar korban tidak dapat bergerak leluasa karena takut ditangkap polisi;
3. Memberitahu korban bahwa status mereka ilegal dan akan dipenjara serta dideportasi jika mereka berusaha kabur
4. Mengancam akan menyakiti korban dan/atau keluarganya
5. Membatasi hubungan dengan pihak luar agar korban terisolasi dari mereka yang dapat menolong
6. Membuat korban tergantung pada pelaku trafiking dalam hal makanan, tempat tinggal, komunikasi jika mereka di tempat di mana mereka tidak paham bahasanya, dan dalam “perlindungan” dari yang berwajib
7. Memutus hubungan antara pekerja dengan keluarga dan teman.
Berbagai Sumber
artikel post by jmk