Faktor-Faktor Penyebab Perdagangan Anak
Perdagangan anak merupakan perdagangan manusia dengan korban yang dikategorikan sebagai anak-anak atau orang berusia 18 tahun ke bawah untuk tujuan-tujuan eksploitatif. Dalam Protokol Palermo, Persatuan Bangsa-Bangsa mendefinisikan perdagangan manusia sebagai "perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau dengan pemberian hadiah atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi harus mencakup, sedikitnya, pelacuran atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ tubuh". Anak-anak korban perdagangan juga ada yang dipaksa bekerja sebagai tentara anak, dilibatkan dalam tindak kejahatan, dan dijual untuk kepentingan adopsi ilegal. Anak-anak dan perempuan merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban perdagangan manusia.
Anak-anak rentan terhadap perdagangan orang antara lain karena kemiskinan, kurangnya kesadaran mengenai buruh anak, tingkat pendidikan yang rendah, minimnya pencatatan kelahiran, krisis kemanusiaan, faktor budaya, undang-undang yang tidak efektif, dan lemahnya penegakan hukum dalam tindak pidana perdagangan orang. Faktor sosial dan budaya, seperti kesenjangan gender yang ada dalam beberapa budaya, menyebabkan anak-anak perempuan lebih rentan terhadap perdagangan. Para ilmuwan juga menyebut globalisasi ekonomi sebagai faktor yang turut menyuburkan perdagangan anak lintas negara. Hal ini ditandai dengan kemudahan melakukan perjalanan antar negara, terutama dari negara berkembang ke negara maju, baik secara sah maupun ilegal. Pelaku kejahatan internasional memanfaatkan hal tersebut untuk memperdagangkan manusia dan mengirim uang, barang, dan jasa.
Faktor ekonomi
Faktor pendorong terbesar perdagangan anak adalah kemiskinan dan keterbatasan lapangan pekerjaan. Warga miskin, termasuk di antaranya anak-anak, termotivasi untuk memperbaiki nasib dengan mencari pekerjaan ke luar kota, daerah, hingga luar negeri. Sayangnya, mereka tidak memiliki informasi yang cukup tentang daerah atau negara yang akan mereka tuju, sehingga mereka menghadapi risiko diperdagangkan Beberapa negara yang mengalami perpecahan, seperti negara-negara eks Uni Soviet, menderita kelemahan ekonomi. Kondisi ini mendorong suburnya perdagangan perempuan dan anak di kawasan Eropa Timur. Di Indonesia, kemiskinan, pengangguran, dan tingkat pendidikan yang rendah merupakan beberapa faktor pendorong perdagangan anak dan perempuan. Faktor ekonomi ini terkadang berpadu dengan faktor ekologis, di antaranya tingkat kepadatan penduduk tinggi yang turut menyumbang kerentanan suatu daerah. Provinsi berpenduduk padat, seperti Jawa Timur, memiliki kerentanan yang lebih tinggi. Jawa Timur dikenal sebagai pengirim, penerima, dan daerah transit untuk perdagangan orang baik domestik maupun lintas negara. Provinsi ini juga merupakan penyumbang buruh migran terbesar di Indonesia, dan oleh karenanya rentan terhadap perdagangan manusia.
Faktor lingkungan
Sebagian anak menjadi korban perdagangan karena faktor lingkungan, misalnya didorong dan dipaksa oleh orang tua. Berdasarkan penelitian di Kota Malang, Jawa Timur, diketahui bahwa beberapa orang tua menyuruh anaknya untuk mengamen dan mengemis guna mencukupi kebutuhan mereka, termasuk membeli rokok. Di Jawa Barat, ditemukan orang tua yang mengeluh saat putrinya dikembalikan ke keluarga setelah diselamatkan dari kasus perdagangan. Mereka tidak siap kehilangan pemasukan dari anaknya yang dipaksa bekerja sebagai pekerja seks. Kurangnya perhatian orang tua terhadap anak juga menjadi faktor lingkungan yang memperbesar risiko. Berdasarkan hasil studi, anak-anak yang tidak memiliki dukungan sosial memadai, memiliki sejarah sebagai korban kekerasan fisik, seksual, dan pengalaman masa kecil yang merugikan (adverse childhood experiences), serta memiliki citra diri yang rendah seringkali menjadi sasaran pelaku perdagangan orang. Selain itu, anak-anak imigran yang tidak tercatat dan anggota komunitas terpinggirkan juga rentan menjadi korban eksploitasi. Beberapa contoh komunitas yang mengalami peminggiran antara lain penduduk asli, anak-anak minoritas seksual, dan mereka yang berasal dari ras/kelompok etnik minoritas. Mereka yang harus berpindah tempat tinggal karena tertimpa bencana alam dan konflik sosial juga rentan diperdagangkan.
Faktor pendidikan
Kemiskinan membuat anak-anak kesulitan untuk mengakses pendidikan yang layak. Setelah lulus SMP/SMA, banyak dari mereka yang ingin langsung bekerja. Tanpa pengalaman dan kemampuan yang memadai, mereka tergiur dengan janji gaji besar yang ditawarkan oleh agen. Pendidikan yang rendah dan usia dini juga berhubungan dengan tingkat literasi digital yang lemah. Akses anak-anak yang lebih luas terhadap internet saat ini tidak diimbangi dengan kemampuan literasi yang baik. Akibatnya, banyak dari mereka yang terlibat dalam penyalahgunaan media sosial, serta mudah terjebak oleh bujukan pelaku grooming. Hal ini semakin terlihat selama masa pandemi Covid-19. Banyaknya waktu yang dihabiskan di dunia maya selama pandemi menjadikan anak-anak lebih rentan terpapar konten seksual dan kemungkinan berkontak dengan para predator. Anak-anak juga belum memiliki pengetahuan, kemampuan, dan sumber daya yang memadai untuk menjaga diri mereka sendiri saat menggunakan internet.
Faktor sosial dan budaya
Adat dan budaya patriarki mendorong suburnya perdagangan anak. Beberapa budaya lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan, seperti di Tiongkok dan India. Di beberapa budaya, seperti di Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika Utara, orang tua juga harus menyediakan mahar tinggi saat menikahkan anak perempuan mereka. Akibatnya, anak perempuan sering dianggap sebagai beban keluarga. Kondisi tersebut menimbulkan kesenjangan akses antara laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan, ekonomi, dan lapangan kerja. Faktor kemiskinan dan pandangan bahwa anak perempuan sebagai beban tersebut mendorong orang tua untuk menjual anak perempuannya ke agen pelacuran. Selain terlepas dari tanggung jawab, orang tua juga termotivasi oleh imbalan uang. Di negara-negara tertentu, ada pandangan umum bahwa anak harus mendukung ekonomi keluarga. Di sisi lain, budaya mengutamakan anak laki-laki membuat proporsi penduduk antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang di Cina. Sehingga, untuk mendapatkan pasangan, banyak laki-laki Cina memesan calon pengantin perempuan dari luar negeri. Hal ini kemudian turut berkontribusi pada penyalahgunaan pengantin pesanan.
Perkawinan anak juga menjadi faktor pendorong perdagangan anak. Di Indonesia, anak-anak yang menikah kemudian bercerai akan kesulitan menemukan pekerjaan layak. Mereka pun akhirnya terdorong untuk bekerja di luar negeri dan berpotensi terjebak dalam perdagangan orang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI menyebutkan beberapa faktor utama yang mendorong perdagangan anak dan perempuan, yaitu "kebiasaan merantau untuk memperbaiki nasib, budaya konsumtif, tradisi perkawinan anak, dan diskriminasi gender".Pemahaman yang rendah mengenai hak-hak anak juga merupakan faktor sosial budaya yang menyuburkan perdagangan anak di beberapa negara.
Tingginya angka kasus perdagangan anak juga disebabkan oleh ketiadaan aturan hukum yang jelas dan lemahnya penegakan hukum terhadap kasus perdagangan manusia Perdagangan anak umumnya melibatkan jaringan pelaku yang beroperasi secara rapi, sehingga menyulitkan upaya pengungkapan perkara. Hal ini ditambah dengan aparat penegak hukum yang lambat dalam menangani kasus. Pakar hukum di Indonesia mengindikasikan adanya upaya intervensi kasus oleh pelaku. Akibatnya, peran aparat dalam penegakan hukum perdagangan manusia menjadi lemah. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus pornografi anak dan pernikahan anak, banyak negara yang masih memiliki aturan yang permisif atau bahkan belum memiliki undang-undangnya sama sekali.
Referensi
Berbagai Sumber
'written by jmk'