Karena pekerjaan mereka melanggar norma hukum dan agama
Sepanjang perjalanan sejarah kehidupan umat manusia, wanita tidak jarang menjadi obyek dari mata lelaki untuk melampiaskan nafsu yang dilakukan oleh laki-laki hidung belang. Krisis ekonomi menjadi dampak terhadap banyaknya wanita yang menjadi korban laki-laki hidung belang. laki-laki pada dasarnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan, jika tidak mempunyai pendidikan yang cukup tinggi, sedangkan pada wanita lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan walau tanpa bekal pendidikan yang tinggi. Seseorang yang mempunyai skill yang tinggi masih dinilai dari tingkat tingginya pendidikan terakhir yang diperolehnya. Tanpa melihat kemampuan lain yang dimiliki dari masing-masing individu tersebut. Sehingga banyak orang menganggap pendidikan formal itu segalanya. Kebanyakan mereka tidak mau repot dan menginginkan hal yang instan sehingga mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.
Banyak diantara mereka yang bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial. Pada dasarnya pelacuran adalah sebuah sarana penjualan jasa seksual. Penjualan jasa seksual, misalnya hubungan intim, oral seks, yang dilakukan untuk memperoleh uang. Pekerjaan para pelacur pada umumnya adalah menyewakan tubuhnya kepada pelanggan. Para pelacur memberikan ‘service’ supaya para pelanggan/konsumen dapat terpuaskan. Di Indonesia para pelacur disebut juga PSK, yaitu singkatan dari Pekerja Seks Komersial. Demi mendapatkan uang, para pelacur harus berusaha menyingkirkan segala norma yang ada dalam masyarakat. Mereka harus bisa menerima resiko dari pekerjaan mereka, entah itu dikucilkan, maupun digusur dari pergaulan.
Selain itu mereka juga harus siap untuk menghadapi konsekuensi hukum, karena pekerjaan mereka melanggar norma hukum dan agama yang berlaku. Secara sederhana pelacuran adalah bentuk nyata dari hubungan kelamin di luar pernikahan. Secara logis, wanita tidak akan melakukan hal tersebut jika ada pekerjaan yang lebih baik dan layak. Menjadi PSK membuat mereka merendahkan harga diri mereka demi mendapatkan uang. Seorang wanita tidak akan menjadi pelacur jika kebutuhan materi sudah dapat dipenuhi. Inilah sebab utama yang membuat para wanita rela mengorbankan harga dirinya karena Tekanan ekonomi membuat seseorang untuk melakukan segala cara, apalagi kebutuhannya mendesak. Saat mereka menemukan jalan buntu, dimana jalan yang terbuka lebar dan mudah dilakukan adalah menjadi seorang pekerja seks komersial. Dengan menjadi PSK, mereka mampu mendapatkan uang dalam waktu yang singkat, apalagi mereka bekerja individu, tidak melibatkan mucikari. Berawal dari sana mereka akan menganggap bahwa pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang paling baik mereka bisa membiayai diri mereka sendiri, mungkin bisa membiayai keluarga mereka. Menjadi seorang PSK tidak hanya melulu pada akibat tekanan ekonomi. Banyak hal lain yang menjadi alasan para wanita menjajakan dirinya.
Alasan lain yang paling masuk akal adalah tingkat pendidikan. Hal utama yang mendasar adalah kebodohan, dimana kurangnya pendidikan atau intelegensi. Sebenarnya banyak para pekerja seks yang mempunyai pendidikan, contohnya : mahasiswa atau pelajar SMA. Mereka menjadi PSK karena dorongan kehidupan hedonis, karena mereka menginginkan lebih dari sekedar uang jajan/uang bulanan.Dalam hal ini mereka menjadi pelacur karena mereka ingin memenuhi kebutuhan psikologi mereka, mereka yang menghendaki kemewahan tidak sekedar cukup. Pada kenyataannya, para PSK yang bekerja di tempat pelacuran besar (yang dipekerjakan oleh mucikari) tidak mempunyai pendidikan seperti halnya mahasiswa. Mereka berasal dari keluarga menengah kebawah (miskin) di desa. Mereka bekerja hanya untuk mendapatkan kebutuhan materi, tidak peduli dampak atau akibat yang akan terjadi setelahnya.
Pada dasarnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah diatur dan dijelaskan sanksi pidana dalam hukum positif di Indonesia mengenai Pekerja Seks Komersial yaitu di dalam pasal 296 dan pasal 506 KUHP dimana pada pasal 296 KUHP berbunyi : “Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Serta pada Pasal 506 KUHP berbunyi : “Barang siapa sebagai muncikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”. Namun, di dalam Pasal tersebut sekalipun perantara (germo) atau mucikari dan pedagang wanita telah tegas diancam dengan ancaman pidana tersebut, pada kenyataannya perantara dan pedagang wanita ini masih terus melakukan kegiatan prostitusi. Berarti, hokum dalam hal ini menghadapi suatu masalah sosial yang sulit dipecahkan dalam menindak suatu masalah kegiatan prostitusi.
Perilaku pelacuran akhir- akhir ini semakin marak dilingkungan masyarakat Indonesia, hal ini terbukti dari semakin banyaknya aborsi yang disebabkan hubungan seks diluar pernikahan, lokalisasi pelacuran dan pemberian kondom serta tersedianya fasilitas, seperti diskotik dan tempat- tempat penginapan : hotel, motel villa dan lain sebagainya. Pada zaman sekarang model- model perbuatan pelacuran juga mempunyai banyak variasi, meskipun tidak sama persis tapi motifnya hampir sama, yaitu motif ekonomi, mencari kesenangan sesaat atau pelampiasan nafsu dan menunjukan harga diri.
Menurut data yang didapat, diperkirakan, 30 persen pelacur atau pekerja seks komersial (PSK) di Indonesia dijalani oleh anak-anak di bawah umur atau di bawah 18 tahun, mereka mudah ditemukan di kantong-kantong kemiskinan. Karena itu, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menekan jumlah anak yang dieksploitasi menjadi pelacur. Pemerintah daerah harus melindungi anak-anak, utamanya yang putus sekolah, agar tidak dieksploitasi. Menurutnya, Eksploitasi Seks Komersial Terhadap Anak (Eska) terjadi dalam tiga hal. Yakni, prostitusi, perdagangan anak (trafficking), dan pornografi. bukan hanya masalah moral, tapi masalah sosial. Anak-anak itu melacurkan diri atau dipaksa melacurkan diri karena desakan ekonomi.
'Berbagai Sumber"
editor Jmk"