thumb

KDRT merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminasi

KDRT atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban, misalnya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu. Kekerasan ini dapat juga muncul dalam hubungan pacaran, atau dialami oleh orang yang bekerja membantu kerja-kerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.

Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta merupakan bentuk diskriminas

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Pasal 1 UU PKDRT mendefinisikan KDRT sebagai,

“perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Sudah ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sejak 16 tahun lalu dan telah diimplementasikan dalam pencegahan dan penanganan perempuan korban kekerasan.

Undang undang ini merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga [UU No.23 Tahun 2004, Pasal 1 (2)].

Apa tujuan dibentuk UU PKDRT?

Tujuan dari adanya UU PKDRT, sebagaimana disebut dalam Pasal 4, meliputi:

1) mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;

2) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;

3) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;

4) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. 

 Siapa saja yang menjadi lingkup dan dilindungi dalam UU PKDRT?

Pasal 2 UU PKDRT menegaskan bahwa ruang lingkup dari undang-undang ini tidak hanya terhadap perempuan, tapi pihak-pihak sebagaimana di bawah ini:

  1. Suami, istri, dan anak;
  2. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik karena darah, perkawinan persusuan, pengasuhan, dan yang menetap dalam rumah tangga;
  3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di dalam rumah tangga tersebut.         

 Siapa saja yang dapat menjadi korban KDRT?

Orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga [UU No.23 Tahun 2004, Pasal 1 (3)]

 Apa saja bentuk-bentuk kekerasan KDRT?

Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (General Recommendation No. 19 (1992) CEDAW Committee) menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender yang dimaksud adalah berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang terjadi yang berakar pada perbedaan berbasis gender dan jenis kelamin yang sangat kuat di dalam masyarakat.

Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan yang tertuang di UU PKDRT adalah meliputi kekerasan fisik (Pasal 6), kekerasan psikis (Pasal 7), kekerasan seksual (Pasal 8), dan penelantaran rumah tangga (Pasal 9).

Apakah korban KDRT memiliki hak sebagai korban?

Sesuai dengan Pasal 10, UU PKDRT, maka korban KDRT memiliki hak sebagai korban, diantaranya:

  1. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
  2. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
  3. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
  4. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  5. pelayanan bimbingan rohani.

Apa saja kewajiban masyarakat terkait mengenai KDRT?

Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :

  1. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
  2. memberikan perlindungan kepada korban;
  3. memberikan pertolongan darurat; dan
  4. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Apa saja dampak KDRT terhadap anak?

Anak-anak dalam keluarga yang dipenuhi kekerasan adalah anak yang rentan dan berada dalam bahaya, karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

Laki-laki yang menganiaya istri dapat pula menganiaya anak.

- Perempuan yang mengalami penganiayaan dari pasangan hidup dapat mengarahkan kemarahan dan frustrasi pada anak.

- Anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan kekerasan dan melindungi ibunya.

- Anak akan sulit mengembangkan perasaan tenteram, ketenangan dan kasih sayang. Hidupnya selalu diwarnai kebingungan, ketegangan, ketakutan, kemarahan, dan ketidakjelasan tentang masa depan. Mereka tidak belajar bagaimana mencintai secara tulus, serta menyelesaikan konflik dan perbedaan dengan cara yang sehat.

- Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang wajar, boleh, bahkan mungkin seharusnya dilakukan. Anak lelaki dapat berkembang menjadi lelaki dewasa yang juga menganiaya istri dan anaknya, dan anak perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak sebagai korban kekerasan. Anak perempuan dapat pula mengembangkan kebiasaan agresi dalam menyelesaikan masalah. [Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indonesia. Komnas Perempuan, 2002. Hal 100].

Siapa saja yang dapat menjadi pelaku KDRT?

Pelaku dapat dikategorikan negara dan non negara. Pelaku yang non negara bisa berposisi sebagai: suami, pasangan, ayah, ayah mertua, ayah tiri, paman, anak laki-laki, atau pihak keluarga laki-laki lainnya. Sementara pelaku yang berposisi sebagai aktor negara, selain berposisi secara personal, mereka juga terikat dalam tugas-tugas yang seharusnya dijalankan sebagai aktor non negara. Mereka bisa jadi memiliki posisi tertentu di tingkat negara dan menggunakan kekuasaannya untuk mengabaikan atau membiarkan kasus KDRT yang terjadi pada korban atau bahkan menghambat akses perempuan terhadap layanan, bantuan, dan keadilan. Sebagai kekerasan berbasis gender, maka korban dominannya adalah perempuan, walaupun dimungkinkan adanya perempuan yang melakukan KDRT.

Apa saja sanksi dan tindakan yang dikenakan kepada pelaku KDRT?

Pengaturan sanksi di dalam Undang-Undang ini terdapat di dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana pada Pasal 44-53, di mana sanksi yang cukup meliputi kekerasan fisik yang tergolong berat, yang menyebabkan seseorang jatuh sakit atau luka berat (maksimal 10 tahun) dan yang menyebabkan korban meninggal dunia (maksimal 15 tahun), dan termasuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang menyebabkan korban tidak sembuh, hilang ingatan, dan gugur atau matinya janin dalam kandungan (20 tahun).

Apa tugas dan tanggung jawab pemerintah?

Undang-Undang tersebut memberi mandat kepada Pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), untuk bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga melalui perumusan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sensitif gender, serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.

 

post and editing by jmk

'berbagai sumber'