Penghapusan Perdagangan Orang dan Penyelundupan Manusia (Human Trafficking)
Perdagangan manusia merupakan salah satu kasus kejahatan yang terjadi di lintas negara ketika pelaku menggunakan kekerasan, penipuan, atau paksaan untuk mengendalikan orang lain dengan tujuan (untuk) melakukan tindakan komersialisasi seks atau meminta tenaga kerja atau layanan yang bertentangan dengan keinginannya. Untuk kasus pekerja seks di bawah umur 18 tahun, tidak diperlukan unsur kekerasan, penipuan, atau paksaan tetapi tetap dianggap sebagai tindak pidana perdagangan manusia.
Perdagangan orang adalah kejahatan global yang memperdagangkan orang dan mengeksploitasinya untuk mendapatkan keuntungan. Orang-orang di setiap wilayah di dunia, dari segala jenis kelamin, usia dan latar belakang bisa menjadi korban kejahatan ini. Para pedagang orang menggunakan kekerasan, agen tenaga kerja yang bersifat menipu, dan janji palsu tentang pendidikan dan kesempatan kerja untuk menipu, memaksa dan menipu korbannya. Jaringan terorganisir atau individu di balik kejahatan yang menguntungkan ini memanfaatkan orang-orang yang rentan, putus asa atau hanya mencari kehidupan yang lebih baik. Perdagangan orang didefinisikan dalam Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perdagangan Orang, yang melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional, sebagai “perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan cara seperti ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk lainnya. pemaksaan, penculikan, penipuan atau penipuan untuk tujuan eksploitasi.”.
Siapa Korban Perdagangan Orang?
Korban perdagangan bisa dari segala usia, jenis kelamin apapun dan dari manapun di dunia. Menurut Laporan Global UNODC 2020 tentang Perdagangan Orang yang disusun dari 148 negara lebih, korban perempuan terus menjadi target utama perdagangan orang. Laporan tersebut menunjukkan bahwa pada 2018, 46 persen korban yang terdeteksi adalah perempuan dan 19 persen anak perempuan. Untuk korban laki-laki, Laporan menunjukkan bahwa 20 persen dari korban yang terdeteksi adalah laki-laki dan 15 persen adalah laki-laki. Laporan tersebut menunjukkan bahwa persentase anak-anak di antara korban perdagangan manusia yang terdeteksi telah meningkat tiga kali lipat sementara persentase anak laki-laki meningkat lima kali lipat selama 15 tahun terakhir. Secara global, satu dari setiap tiga korban yang terdeteksi adalah anak-anak. Anak perempuan sebagian besar diperdagangkan untuk eksploitasi seksual, sedangkan anak laki-laki digunakan untuk kerja paksa. Persentase korban laki-laki yang terdeteksi telah meningkat dari sekitar 10 persen pada 2003 menjadi 20 persen pada 2018.
Dalam beberapa kasus, pelaku pedagang orang ini adalah mantan korban kejahatan, yang tidak memiliki banyak pilihan untuk mengeksploitasi. Salah satu contohnya adalah tentara anak-anak yang ketika di masa dewasanya tetap berada dalam milisi bersenjata, mereka secara paksa merekrut orang lain juga. Contoh kedua adalah perempuan muda yang diperdagangkan ke tempat pelacuran yang kemudian merekrut perempuan muda lain dari komunitas mereka dengan imbalan pembayaran tunai untuk mengurangi hutangnya kepada pelaku pedagang orang
Sumber: UNODC, Global Report on Trafficking in Persons, 2018, p.44
Perdagangan Orang di Indonesia
Perdagangan orang, khususnya bagi kaum perempuan dan anak, bukan merupakan masalah yang baru di Indonesia serta bagi negara-negara lain di dunia. Telah banyak yang mengawali sejarah lahirnya konvensi-konvensi sebagai upaya dari berbagai negara untuk menghilangkan penghapusan Perdagangan Orang dan Penyelundupan Manusia terutama perempuan dan anak secara lintas batas Negara untuk tujuan prostitusi. Sebagai perbandingan bahwa Perdagangan Orang dan Penyelundupan Manusia merupakan kejahatan dengan nilai keuntungan terbesar ke-3 (tiga) setelah kejahatan Penyelundupan Senjata dan Peredaran Narkoba.
Indonesia adalah negara asal, transit, dan tujuan bagi perdagangan orang lintas-negara dan internal. Meskipun kasus tindak pidana perdagangan orang umumnya melibatkan perempuan dan anak-anak, perdagangan orang yang melibatkan laki-laki juga semakin diakui seperti yang terjadi pada warga negara Indonesia maupun warga negara asing di wilayah Indonesia dan luar negeri.
pada Pasal 1 poin 1 UU Nomor 21 tahun 2007 menjelaskan perdagangan orang merupakan tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Sebagai informasi, berdasarkan data dari Kementerian PPPA, saat ini masih ada 269 kabupaten/kota yang belum membentuk GT PP TPPO. Tercatat, sejak tahun 2019 hingga 2021, sebanyak 1.331 orang menjadi korban TPPO. Dari jumlah itu, 97 persennya atau sekitar 1.291 korbannya adalah perempuan dan anak.
Jumlah kasus kejahatan TPPO yang terjadi di semua negara, dilaporkan juga tidak sedikit. Misalnya, kurun waktu 2017-2021 tercatat ada 1.660 kasus TPPO dengan total korban 1.995 orang. Dari jumlah itu, 88 persen korban perempuan dan anak, serta 12 persen laki-laki. Modus yang paling banyak digunakan untuk menjerat korban menggunakan media sosial dan piranti elektronik.
Oleh karena itu, Pemerintah Pusat mendorong Pemerintah Daerah tingkat Provinsi untuk memfasilitasi pembentukan Gugus Tugas PP TPPO tingkat kabupaten/kota, khususnya yang menjadi sending area korban perdagangan orang. Dengan adanya gugus tugas ini, diharapkan upaya pencegahan dan penanganan kasus perdagangan orang dapat dilakukan secara masif, terkoordinasi, dan lebih efektif.
"berbagai Sumber"
post by jmk